Tarif Royalti Nikel Indonesia Uji Laba Smelter dan Kinerja Saham Tambang
- Diva Alina, Tara Malakiano
- 5 hari yang lalu
- 2 menit membaca
Diperbarui: 4 hari yang lalu
Kenaikan royalti nikel Indonesia dan aturan baru yang mempersingkat masa berlaku kuota produksi menambah tekanan bagi smelter nikel, sedangkan harga nikel global masih berada dekat level biaya kritis. Di saat yang sama, investor pasar saham mencermati kembali prospek saham-saham pertambangan seperti ANTM, INCO, NCKL, dan MBMA.
Sejak pertengahan 2025, harga nikel tiga bulan di London Metal Exchange (LME) cenderung berkonsolidasi di kisaran sekitar US$ 14.800ā16.000 per ton, jauh di bawah puncak lebih dari US$ 48.000 per ton pada 2022. Laporan Reuters dari konferensi logam di Jakarta pada Juni 2025 menyebutkan, pelaku industri memperkirakan oversupply nikel global dapat bertahan setidaknya hingga 2027ā2028, didorong ekspansi kapasitas, terutama di Indonesia. Sementara itu, laju permintaanātermasuk dari sektor baterai kendaraan listrikāmenunjukkan perlambatan.

Dinamika Kebijakan: Royalti & RKAB Nikel 2025
Dari sisi kebijakan, pemerintah menetapkan PP No. 19/2025 yang mengubah royalti bijih nikel dari tarif tunggal 10% menjadi tarif progresif sekitar 14ā19% bergantung Harga Mineral Acuan (HMA), sebagaimana diberitakan sejumlah media dan laporan kebijakan DPR RI. Regulasi ini diikuti perubahan penting lain: masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pertambangan dipersingkat dari tiga tahun menjadi satu tahun. Kebijakan ini dikonfirmasi dalam pemberitaan Reuters dan media bisnis nasional yang menekankan tujuan pemerintah untuk memperketat pengendalian produksi dan membantu menyeimbangkan pasar.
Pelaku industri menilai kombinasi harga nikel yang rendah, beban royalti yang lebih tinggi, dan ketidakpastian kuota berpotensi menekan margin, terutama bagi produsen dengan struktur biaya tinggi. Asosiasi dan pelaku usaha meminta masa transisi yang lebih panjang, sedangkan pemerintah menyatakan penyesuaian royalti dan RKAB diperlukan untuk memperkuat penerimaan negara dan meningkatkan tata kelola sektor pertambangan.
Emiten Nikel Acuan
Dampak kebijakan ini tercermin pada sentimen emiten pertambangan di Bursa Efek Indonesia. Saham PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk. / Harita Nickel (NCKL), dan PT Merdeka Battery Materials Tbk. (MBMA) sering menjadi barometer sektor ketika muncul berita mengenai royalti, harga nikel, maupun kuota produksi. Sejumlah ulasan pasar mencatat bahwa perusahaan yang lebih terintegrasi dari tambang hingga pengolahan dinilai memiliki bantalan lebih baik terhadap fluktuasi harga dan perubahan kebijakan dibanding penambang murni, meskipun tetap menghadapi tekanan margin di tengah kondisi oversupply.
Bagi pelaku pasar, fase ini dipandang sebagai periode seleksi yang menguji efisiensi biaya, kekuatan neraca keuangan, dan kemampuan emiten masuk ke rantai nilai hilir. Di tengah ketidakpastian harga komoditas dan dinamika kebijakan, saham-saham tambang Indonesia masih berada dalam radar sebagian investor, tetapi dengan profil risiko yang lebih tinggi dibanding beberapa tahun lalu.
Referensi:
Verda Nano Setiawan, "RKAB Tambang Diubah Jadi 1 Tahun, ESDM Akhirnya Buka Suara", CNBC Indonesia, 17 Oktober 2025.
Disclaimer: Konten dibuat untuk tujuan edukasi, bukan rekomendasi membeli atau menjual saham tertentu. PT KAF Sekuritas Indonesia berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).




Komentar